Mereka memasukkan sampah plastik yang sudah dipilah ke dalam gerobak. Karena terletak di pinggir kali, sebagian sampah plastik di tempat pembuangan sementara (TPS) itu meluber ke aliran sungai. Sampah plastik itu mengendap di tepi sungai. Serabut-serabut sampah plastik yang mengendap di tepian itu tak jarang menyumbat aliran sungai.
Sampah diakui warga desa berpenduduk 9.000 jiwa ini menjadi masalah. Kepala Desa Banaran, Suparminto, mengatakan lahan pembuangan sampah yang sempit membuat warga seringkali kebingungan. Padahal, ribuan keluarga membuang sampah di lokasi yang sama.
Truk pengangkut sampah dari Dinas Pekerjaan Umum (DPU) dijadwalkan mengangkut sampah sebanyak sepuluh kali. Tetapi pada kenyataannya truk paling banter mengangkut delapan kali saja.
“Warga sekitar TPS sering protes kalau sampah tidak segera diambil. Mereka terganggu dengan bau tak sedap,” ujarnya, Senin.
Bantuan Dana
Sebulan lalu, Suparminto mendapatkan kabar gembira dari Bank Mandiri. Desa Banaran ditawari bantuan dana untuk membeli mesin pengolahan sampah organik menjadi pupuk. Selain itu, mereka juga mendapatkan dana untuk membangun area pengolahan sampah. Tanpa pikir panjang, ia pun menerima tawaran itu.
Ia bermimpi masalah sampah yang mendera warga bisa berubah menjadi berkah. Namun, upayanya itu perlu kerja sama dan partisipasi dari seluruh warga desa. “Semua anggota RT dan RW harus mengerjakan. Saya harapkan setiap RT bisa memilah dan mengolah sampah.”
Ia pun menunjuk warga RT 001/RW 004, Ginting Sri Kusmayadi menjadi panitia pengolahan sampah. Ia berharap Ginting dapat menggerakkan masyarakat untuk mengelola sampah bersama-sama. Awalnya, sampah diharapkan diolah sesuai kebutuhan. Selebihnya, sampah diharapkan mampu diolah menjadi barang bernilai ekonomis.
Ginting Sri Kusmayadi, saat ditemui Solopos.com mengatakan tanggung jawab yang ia emban ini tidak mudah. Ia akan melibatkan ibu-ibu PKK untuk memilah sampah organik dan nonorganik. Ia juga masih akan mempelajari pengolahan sampah dari daerah yang sudah lebih dulu berhasil mengolah sampah.
“Saya akan berkoordinasi dulu dengan masyarakat. Kira-kira butuh empat hingga enam orang sebagai operator mesin,” ujarnya.
Ia melihat peluang usaha pupuk organik ini cukup besar. Oleh karenanya, ia akan merekrut sumber daya manusia (SDM) yang berkompeten. Saat ini, mesin pengolah sampah organik itu masih teronggok di lokasi TPS. Belum ada warga yang mengoperasikan alat tersebut. Rencananya, CV Bina Mandiri Solo akan mendampingi warga untuk mengolah sampah.
Sampah daun harus benar-benar kering saat diproses di mesin pengolah. Jika tidak, mesin akan mudah berkarat dan rusak. Ginting berharap mesin ini dapat beroperasi secepatnya. Saat ini, ia masih dalam tahapan berkonsultasi terkait tata cara penggunaan mesin kepada CV Bina Mandiri Solo.
| Dian Dewi Purnamasari/JIBI/SOLOPOS |