Judul: Teorema Pagi
Penulis: Kristo Baskoro
Penerbit: Pohon Cahaya
Tanggal terbit: Maret 2013
Jumlah halaman: 155
Kategori: Puisi, Cerpen
Harga: Rp45.000,00
Buku itu mungkin masih jauh dari sempurna, tapi #Kristo menulisnya dengan hati, dan kami mengumpulkan dan membukukannya juga dengan hati .. @TeoremaPagi
Tidak perlu baca sampai habis tulisan risto, saya sudah tahu Teorema Pagi buku
yang bagus, dengan sejuta ide, mimpi, dan cita-cita yang diramu dengan
kegelisahan hati seorang pemuda yang masih belia. Tidak perlu berbicara
langsung dengan Kristo, lewat gerak mata dan gerak mulut, saya sudah
tahu dia masih berjuang untuk dapat melanjutkan hidup.
Apabila
Tuhan memang “maha” tentulah mungkin, pada semua hal yang terjadi di
dunia ini. Dengan kata lain, apabila Tuhan “maha”, maka kita masih punya
selangit harapan untuk melihat Kristo berkumpul lagi, kembali lagi,
menulis lagi, berteater lagi, wara-wiri lagi. Tak perlu mengenalnya
secara dekat, cukup membaca tulisannya, saya tahu dia punya sesuatu. Dia
pun penyair, pencinta sastra, dan sutradara yang ulung.
Gugatan
pada Tuhan saya layangkan ketika menjenguk anak komunikasi FISIP UI,
angkatan 2010 itu di RS. Bunda Margonda. Kamis, 14 Maret 2013 sekitar
pukul 14.30. Hari itu, langit memang tidak cerah dan terang seperti
sebelumnya. Mendung dan gerimis menghiasi hari itu yang dapat
menghalangi langkah kaki saya menuju ke sana.
Siang
tepatnya, saya tiba di Wisma Sahabat Yesus, Depok, rumah bagi mahasiswa
Katolik dalam Pastoral Mahasiswa Keuskupan Agung Jakarta Unit Selatan
(PMKAJ US). Ketika masuk ke dalam perpustakaan, Christie, dari
Gunadarma, menegur saya dan bertanya, “Sudah baca ini kak?” Sambil
mengangkat buku berjudul Teorema Pagi.
“Belum,” jawab saya. Lalu, dengan cepat saya ambil dari tangannya, saya
buka, saya baca, dan saya terbius oleh kata-katanya halaman demi
halaman.
Ada
dorongan yang kuat, sebelum saya ke kampus, untuk pergi menjenguknya.
Saya tahu ceritanya dari teman-teman, tapi sampai lewat 3 bulan, saya
masih diam-diam tak terlalu peduli. Seringkali mengikuti sebuah
dorongan, kata hati, atau apalah namanya, memang membawa kita pada suatu
perjalan kehidupan yang lain, yang mungkin lebih berwarna dan bermakna.
Maka, tak peduli gerimis menerjang, saya lantas bergegas ambil
keputusan untuk pergi menjenguk Kristo.
Kecelakaan
motor yang dialaminya pada Desember 2012 membuat Kristo sampai sekarang
berbaring tak berdaya. Sekitar dua minggu yang lalu, dia telah
dipindahkan ke R.S. Elisabeth, Bekasi dan telah menjalani operasi
kembali. Ketika bertemu dengan orangtua Kristo waktu itu, tampak sekali
ketegaran ketabahan mereka dalam mendampingi kesembuhan anak mereka.
Uang ratusan juta telah mereka habiskan demi kesembuhan Kristo. Sungguh
luar biasa, bantuan datang dari mana pun, mulai dari saudara,
teman-temannya di FISIP UI, teman-teman di Gereja, dan masih banyak
lainnya.
Saya
ke sana hari itu, memang tidak membawa apa pun, saya hanya mencatat
lima puisi yang saya suka dari bukunya, kemudian saya membacakan
untuknya. Sekadar membangunkan ingatan-ingatannya terhadap tulisan yang
pernah dibuatnya. Respon-respon kecil dari Kristo lewat gerak matanya
dan mulutnya yang berbusa seperti hendak bicara, menggugah hati saya
untuk menulis ini. Karena saya merasakan bahwa sekalipun Kristo tak
bicara, saya yakin dia sedang berjuang untuk sembuh. Di akhir perjumpaan
saya dengannya, saya katakan padanya, “Lekas sembuh Kristo, mari
jadikan kota lebih manusiawi,” sebagaimana puisi “Teorema Pagi” dalam
bukunya.
Kristo dan Teorema Pagi
Teorema Pagi merupakan kumpulan tulisan-tulisan Kristo mulai dari blog pribadinya http://kristobaskoro.tumblr.com/
, twitternya @kristo_baskoro, dan lain-lain. Saya pun tak kenal secara
personal dengannya, mungkin pernah satu dua kali melihatnya di Wisma SY.
Kendati demikian, membaca tulisannya membawa saya menjadi dekat
dengannya.
Tulisan singkat ini akan sedikit memberikan gambaran tentang Kristo yang tercermin dari tulisan-tulisannya di Teorema Pagi.
Gagasan, ide, mimpi, kritik, sindiran, optimisme, pesimisme, seorang
anak muda yang gelisah akan keadaan sekitar serta bangsanya. Dalam
kompasiananya http://www.kompasiana.com/kristobaskoro
dia sendiri mendeskripsikan dirinya adalah “seorang muda yang sedang
mencoba menulis, dan berharap ada dampak kecil yang dapat dibuat oleh
tulisannya…”
Saya
rasa walaupun masih belia, Kristo telah memiliki wawasan luas yang bisa
jadi tumbuh karena buku-buku yang telah dilahapnya. Hal itu terlihat
dari diksi yang dia gunakan dalam tulisannya. Kata teorema sendiri,
bukan merujuk pada rumus Pythagoras, melainkan pada kontemplasi.
Kontemplasi di situ bermakna merenung dengan kebulatan pikiran dan
perhatian penuh.
Baca
saja puisinya berjudul “Teorema Pagi” kita akan mendapati kegelisahan,
sindiran akan kota yang kini tidak manusiawi. Pada bait pertama dan
kedua, gambaran kehidupan kota dan kesibukan orang kota menggunakan
kereta dijelaskan dengan sederhana, dengan begitu lugas. Mengingatkan
kita pada hari baru yang berulang, dengan rutinitas: mungkin sekolah,
mungkin kerja. Dengan harapan akan janji-janji esok yang lebih baik.
Pagi asyik bernyanyi tentang kota, tentang semuanya. Dan kereta telah menyibukkan diri, pulang pergi.
Mengantar Joni.
Mengantar Surti.
Mengantar Ibu Budi.
Mengantar janji-janji…
Kemudian,
kritik pedas, sindirannya sangat terasa menusuk dan keras manakala saya
membaca bait ketiga. Perubahan akan kota yang dulu lebih baik, lebih
ramah, lebih bersahabat dituliskan Kristo seperti berikut ini.
Kota
telah berubah jadi semacam tempat sampah. Ruang di mana sisa-sisa
harapan dan kekecewaan menggenang, dan berenang dalam kenyataan. Realita
Kota.
Saya
sendiri mengasosiasikan bait ini pada tumpukan sampah di kali dan
jalan-jalan, juga pada kemacetan dan polusi pagi yang menerpa kita di
jalan raya menuju tempat singgah entah sekolah, entah kantor. Kemudian
saya ingat akan para transmigran yang berusaha ke kota mencari kehidupan
lebih layak karena kesulitan ekonomi di kampung. Kemudian, harapan
mereka tak terbayar karena kerasnya kota, kenyataan yang pahit dan tak
seindah harapan mereka kala mereka di desa. Saya membayangkan
orang-orang “kecil”: anak jalanan, pengemis, pengamen, buruh. Kemudian,
itu ditampakkan oleh Kristo pada bait selanjutnya.
Mereka
berjejalan di bawah lampu, di dalam gerbong kereta. Duduk, berdiri,
bercumbu, bermimpi. Ada yang mengamati, ada yang tidak peduli.
Kota menjadi terlalu asing dan tak lagi dikenali, asyik sendiri.
Sudah malam, dan aku pulang. Kereta pun pulang. Semua berjalan menuju mimpi, tentang kota yang manusiawi.
Pada
bait kelima, perasaan asing berada di kota menyergap. Asing padahal
kita tinggal dan selalu berinteraksi pada ruang yang bernama kota. Entah
itu karena mengasingkan diri, diasingkan, atau terasing. Bahkan,
seringkali perasaan asing saat berada dalam bus sesak, ketika sendirian
di jalan dengan rute panjang tak habisnya pun menyerbu saya. Kemudian,
merasakan betapa individualisnya sekitar saya. Kendati
demikian, kegelisahan, sindiran Kristo kemudian dilanjutkan dengan
mimpi, sebuah harapan akan kota yang lebih manusiawi. Saya rasa begitu
mendalam pada bait terakhir yang manisnya sampai ke hati.
Saya
membaca secara tersirat, dalam tulisan-tulisannya bahwa ada
keprihatinan terhadap mereka yang termarginalkan, yang miskin, lemah,
dan tertindas. Ada idealisme dalam dirinya akan sebuah cita-cita bonum commune “kesejahteraan bersama”. Pemahamannya akan sebuah realitas kehidupan dalam mencapai bonum comunee
itu, termaktub dalam kata-katanya, “Memahami Tuhan adalah semudah
mengamalkan kebaikan, namun mengamalkan kebaikan tidaklah semudah
membuka mata di pagi buta.” Kemudian, ketika merenung-renung, saya
mendapati kegelisahan saya pun ada di dalam tulisannya, di dalam
dirinya.
Pemuda
yang satu ini, dapat dikatakan melankolis, ada sisi-sisi romantis yang
melekat lewat kepuitisan dalam kata sederhana yang ditaruhnya. Baca saja
twitnya untuk kekasihnya, “kita masih harus berlari, bahkan dalam tidur
yang sepi, karena pagi antusias menanti, hai nona”. Nada optimisme yang
dia kirim, sungguh menggugah hati.
Pujiannya
pada sang Pencipta membawa saya pada keyakinan, bahwa dia pun adalah
penyair dan pencinta sastra serta memiliki toleransi yang tinggi: “Tuhan
adalah penyair, pencinta sastra, dan kitab-kitab suci adalah karya
agungnya”. Selain itu juga tampak dalam sindirannya pada cerita
singkatnya berjudul “Toleransi”.
Sepetik
kalimat yang terus membekas dan erat melekat pada dirinya yaitu, “Pagi
telah sibuk berlari dan bernyanyi, sementara kita masih saja asyik
berteori.” Kalimat ini mengingatkan saya pada kansas (kantin sastra FIB
UI), tempat saya biasa menghabiskan waktu makan, bercanda, diskusi, atau
sekadar nongkrong dan bengong bersama kawan-kawan. Tempat ketika masih
menjadi mahasiswa, yang disebut orang-orang kaum intelektual, agent of change.
Lalu, saya berkaca dari kalimat Kristo bahwa memang masa-masa itu
adalah masa saya dan yang lainnya “berteori”, bahkan mungkin sampai
sekarang. Bisa jadi ini juga semacam sindiran bagi mereka kaum
intelektual, harapan bangsa.
Selain
itu, di dalam tulisannya juga ada rumah, ibu yang dia cintai, dan
kegembiraannya berada di antara teman-temannya seperti pada bagian
Cinderamata Dunia. Dalam bait terakhir puisinya berjudul “ Bibir Pagi
Kita”, optimisme, romantisme, ajakan kepada teman-temannya ditulisnya
seperti berikut.
…hatiku tetap besar menantang arus
baiklah… kini mari bersiap
bersihkan dirimu kawan,
temani aku lanjutkan perjalanan.
Cerita-cerita
singkat bertema cinta, keseharian, permasalahan sehari-hari manusia
tampak dalam tulisannya yang berjudul “Timur”, “Oka”, “Murni”, “Bara”,
“Sang Nabi”, dan lainnya. Sebagaimana yang dituliskan di belakang buku Teorema Pagi
ini, pun saya setuju, bahwa rumah bagi Krsito, bukan sekadar rumah
dalam keluarganya, melainkan juga di antara teman-temannya, dan
kegiatannya yang lain. Membaca tulisan-tulisan Kristo maka, saya akan
menemukan buku-buku, pesta gagasan, ide, kegelisahan, sindiran, dan
optimisme, juga cintanya untuk keluarga, kekasih, dan
sahabat-sahabatnya.
Tulisan
ini tentu saja tidak sempurna, tidak lengkap, dan tidak cukup
menggambarkan Kristo dan tulisannya. Maka, selain itu, tentu doa dapat
saya serta yang lain kirimkan kepada sang “maha” agar Kristo dapat
kembali di tengah kita.
Nb:
Info lainnya dapat dilihat di http://teoremapagi.blogspot.com/. Bagi teman-teman yang tergerak dan hendak membeli Teorema Pagi dapat menghubungi Maga 087775514289,
Astrid 085774804146, Boni 087875423432. Teman-teman juga dapat membeli
lewat Mbak Linda di Perpustakaan Wisma SY. Untuk donasi, bisa di
salurkan ke rekening BCA 6800604387 a.n. Dhorotea Astrid Duhita (kakak dari Kristo).